Meminimalkan Dampak “Tanpa Ayah”

Oleh: Khansa Suhita

Sejak dekade silam, para muslimah di Indonesia gencar diberi ilmu-ilmu kewanitaan Islam. Utamanya tentang perempuan harus menutup aurat, menuntut ilmu, dan mengembangkan potensi diri karena perempuanlah yang akan mendidik generasi penerus agama dan bangsa. Sampai sekarang pun kita masih melihat dan merasakan gencarnya pendidikan tersebut. Kita melihat tempat-tempat menuntut ilmu—sekolah, pengajian, dan forum lainnya—banyak dipenuhi oleh wanita. Rumah diurus oleh wanita, anak diurus oleh wanita, bahkan lapangan kerja mulai banyak diisi oleh wanita. Memang benar bahwa belum semua wanita memperoleh pendidikan, tetapi para pewaris Kartini sudah bangkit. Sudah banyak gerakan perubahan yang diinisiasi oleh wanita, baik dari yang muda hingga yang paruh baya.

Namun, tantangan zaman senantiasa berubah. Ibu sudah kuat, tetapi ia tidak bisa sendiri. Ibu menguat, tapi ayah malah berkurang kekuatannya. Indonesia disebut berada di peringkat ketiga dalam kategori “negara tanpa ayah”. Ayah hadir secara fisik, tetapi tidak hadir dalam hati keluarga. Peran ayah direduksi jadi sebatas pemberi nafkah, membuatnya “tidak terlalu” berjasa dibanding peran ibu. Anak memiliki ayah, tetapi kehilangan figur ayah. Inilah yang dimaksud sebagai fatherless.

Anak-anak “fatherless” mungkin memiliki ayah, tetapi karena beberapa jenis pekerjaan membuat para ayah harus meninggalkan rumah dalam jangka waktu lama. Beberapa jenis pekerjaan yang mengharuskan ayah bekerja jauh dari rumah, di antaranya pekerja migran, pekerja sektor transportasi/pelayaran, pekerja kontrak/proyek yang harus tinggal di lokasi proyek untuk periode tertentu, dan pekerja sektor informal, seperti buruh bangunan, tukang becak, dan lain-lain.

Selain karena jenis pekerjaan ayah yang harus meninggalkan keluarga cukup lama, anak juga bisa tidak memiliki ayah karena ayahnya meninggal dunia, ayah tidak hadir secara fisik atau emosional dalam mengasuh dan membesarkan anak, atau ayah tidak pernah ada dalam kehidupan anak sama sekali. Dalam beberapa kasus, terdapat ayah biologis yang meninggalkan, menelantarkan, atau tidak mengakui anaknya.

Kehadiran ayah dalam keluarga berpengaruh secara positif terdahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keberadaan ayah secara stabil dalam kehidupan anak penting bagi perkembangan emosional anak karena dapat memberikan stabilitas, perlindungan, dan rasa aman.

Sebagai tulang punggung keluarga, ayah menyediakan dukungan finansial yang stabil untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak-anak.

Terlibatnya ayah dalam tanggung jawab rumah tangga dan perawatan anak juga membantu meringankan beban istri, memberikan dukungan mental dan emosional yang kuat, serta memungkinkan istri memiliki waktu lebih banyak untuk fokus pada karier atau minat pribadi.

Dalam aspek perkembangan anak, kehadiran ayah dapat memberikan stimulus kognitif yang berbeda dari yang diberikan ibu, di antaranya pemecahan masalah, eksplorasi, pemikiran abstrak, pemahaman logika, dan penalaran matematika. Ayah juga berperan mengajarkan kepercayaan diri, pengelolaan emosi, dan norma sosial.

Anak yang tumbuh dalam keluarga fatherless akan menanggung beberapa dampak psikologis. Kehilangan atau kurangnya figur ayah sebagai sumber dukungan emosional dan model peran yang kuat dapat memengaruhi kesehatan mental anak secara negatif.

Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakstabilan emosi, kesulitan mengelola emosi, hingga mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku. Anak-anak mungkin mengalami perasaan kurangnya dukungan baik finansial maupun psikologis dengan tidak hadirnya ayah di tengah keluarga.

Kehilangan ayah dapat memengaruhi perkembangan kognitif anak sehingga anak menghadapi kesulitan dalam pemecahan masalah dan keterampilan akademis. Kurangnya dukungan emosional dan contoh model peran yang sehat dari seorang ayah juga dapat menghambat perkembangan kecerdasan sosial anak.

Anak-anak mungkin mengalami kepercayaan diri rendah, kesulitan dalam memahami norma sosial dan berinteraksi dengan orang lain, hingga kesulitan membangun hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain. Oleh karena itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan “fatherless” lebih rentan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau “toxic relationship”.

Masalah emosional, psikologis, dan sosial yang dirasakan anak akibat hubungan yang buruk dengan ayah juga dikenal dengan istilah “daddy issues”. Ketika tumbuh dewasa, perempuan yang memiliki “daddy issues” mengalami kesulitan dalam membangun hubungan intim yang sehat dan stabil dengan laki-laki, serta muncul ketidakpercayaan pada pria dalam kehidupan mereka. Sementara itu, laki-laki yang mengalami “daddy issues” akan kesulitan membentuk identitas laki-laki dan ragu akan peran laki-laki. Ketiadaan figur ayah bagi anak laki-laki sebagai contoh menjadi suami yang bertanggung jawab, pengasuh yang baik, dan mitra yang setia membuat mereka kesulitan memahami dinamika hubungan pernikahan.

Untuk meminimalkan dampak “tanpa ayah”, orang dewasa lain yang ada di lingkungan anak dapat melakukan beberapa intervensi, yaitu:

  • Dukungan emosional yang konsisten serta lingkungan yang aman dan mendukung adalah kunci dalam membantu anak mengatasi dampak “fatherless”. Ibu, om, tante, kakek, atau nenek dapat memastikan bahwa anak merasa didengar, dipahami, dan dicintai tanpa syarat.
  • Meskipun ayah mungkin tidak hadir, usahakan untuk memberikan anak model peran (role model) positif lainnya dalam hidup mereka. Ini bisa termasuk anggota keluarga lain, mentor, guru, atau tokoh masyarakat yang bisa memberikan inspirasi dan dukungan.

Semoga kita dimudahkan dalam mendidik anak-anak kita.

Bagikan Kebaikan Ini Melalui:
WhatsApp
Facebook
Twitter
Telegram
LinkedIn

Program Donasi

Keajaiban Qurban

Rayakan Keajaiban Qurban di Insan Mandiri

Donasi Sekarang
Donasi Pangan Kemanusiaan Palestina

Bersama Ringankan Beban Saudara Kita di Palestina

Donasi Sekarang
Donasi Bencana Alam

Bersama Ringankan Beban Korban Bencana Alam

Donasi Sekarang