Oleh: Abu Azkiya
Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak kedua di dunia setelah Pakistan, dengan 87,2% pemeluk islamnya dewasa ini dihantui oleh isu fatherless country. Fatherless ialah istilah yang disematkan untuk anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah, baik secara fisik maupun psikologis. Faktornya beragam, di antaranya wafatnya sang ayah, perceraian ayah dan bundanya, sampai tidak adanya tanggungjawab seorang ayah. Jika merujuk data United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada 2021 lalu, ada sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia yang tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Pahit memang, tapi itulah faktanya bahwa jutaan anak di Indonesia tumbuh tanpa sosok ayah. Lantas bagaimana kemudian Islam memandang isu ini?
Peran seorang ayah bagi tumbuh kembang anak sangat krusial dalam Islam. Bagaimana tidak? Kehadiran seorang ayah sebagai figur penting yang membentuk karakter dan menjadi teladan utama bagi anaknya. Bukankah peran tersebut yang dipraktikkan oleh Luqman al-Hakim saat ia menanamkan prinsip ajaran tauhid pada anaknya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.” Begitu krusialnya peran ayah hingga Allah abadikan kisah Luqman dan nasihat indahnya dalam Al-Qur’an yang kemudian dinamai dengan surat “Luqman”. Bisa kita bayangkan jika jutaan anak di Indonesia hidup tanpa sosok ayah, lantas siapa yang bertanggungjawab menanamkan prinsip tauhid pada diri mereka? Padahal ajaran tauhid itu sendiri telah menjadi pokok utama ideologi bangsa kita yang termaktub jelas dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dampak Kehilangan Peran Ayah bagi Anak dan Keluarga
Secara umum ada beberapa dampak negatif yang dialami anak yang tumbuh tanpa peran ayah. Mengutip Zainuddin Lubis dalam lama nu.or.id ada tiga dampak negatif dari anak yang mengalami fatherless:
- Pertama. Rentan mengalami masalah emosional seperti kecemasan, depresi dan perilaku antisosial. Hal tersebut disebabkan karena sang anak tidak dapat menemukan peran ayah yang memberinya luapan kasih sayang, mendukung juga membimbingnya. Bisa kita bayangkan kekosongan bathin yang dialami mereka, mereka hidup hampa tanpa kasih sayang dan sentuhan seorang ayah.
- Kedua. Berpotensi memiliki problem dalam perilakunya. Pengaruh eksternal bisa memberi dampak negatif hingga menyebabkan kenakalan remaja. Kenakalan remaja kekinian lebih dari kenakalan dalam ranah sekolah, bahkan hingga perilaku kriminal seperti penyalahgunaan narkoba hingga masalah seksualitas.
- Ketiga. Masalah akademis adalah problem yang acapkali terjadi, prestasi akademik yang buruk hingga puncaknya adalah pengabaian terhadap pendidikan. Hal demikian sering terjadi lantaran sang anak kehilangan peran dari sosok ayah yang membantunya memahami materi pelajaran juga memotivasinya untuk mengembangkan potensi dirinya.
Upaya Mengembalikan Peran Ayah: Teladan dari Al-Qur’an dan Hadits
Sebagai pedoman utama dan tak tergantikan bagi umat Islam al-Qur’an dan Hadits memang mencakup seluruh inti nilai-nilai ajaran Islam yang komperhensif, di antaranya peran sosok ayah bagi pertumbuhan anak. Dalam al-Qur’an telah banyak teladan dari para nabi, para manusia utusan Allah. Nabi Zakaria misalnya, bahkan telah memulai pendidikan anaknya melalui masa prenatal, yaitu masa dalam kandungan sebelum sang anak lahir di antaranya dengan doa-doa yang selalu mengalir tiada henti. Bahkan doa Nabi Zakaria baru Allah kabulkan saat beliau mulai tua dan beruban. Di antara doa Nabi Zakaria yang masyhur adalah “Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisiMu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”. Kisah Nabi Zakaria Allah abadikan dalam surat Maryam, dan doa beliau di surat Ali Imron ayat 38. Jadi peran ayah dalam memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya sudah dimulai bahkan sebelum sang anak mengenal dunia.
Saat sang anak telah lahir dan mengenal dunia, maka peran ayah sangat penting dalam menjadi teladan di masa tumbuh kembangnya. Adalah Nabi Ibrahim yang berhasil mendidik Ismail dan Ishaq dengan kasih sayang dan menjadi teladan utama, hingga mereka tumbuh menjadi anak yang sholeh dan berdampak besar dalam garis sejarah Islam. Nabi Ibrahim berhasil mambangun komunikasi yang baik dengan Ismail, saat turun perintah untuk menyembelihnya. Nabi Ibrahim membangun komunikasi dengan keterbukaan dan kejujuran, itulah yang kemudian menjadi kunci kecerdasan emosional sang anak. Kisah percakapan antara Ibrahim dan Ismail tersebut Allah abadikan dalam surat Al-Shaffat ayat 102.
Kisah teladan lain dari sosok ayah datang dari Nabi Ya’qub putera nabi ishaq. Saat telah tampak tanda-tanda ajalnya beliau terus mengokohkan kembali prinsip tauhid pada keturunannya, agar mereka senantiasa menyembah Allah. Begitulah pentingnya peran ayah dalam mendidik anak-anaknya hingga tutup usia, kisah ini kemudian Allah abadikan dalam surat al-baqarah ayat 133. Apakah kamu (hadir) menjadi saksi menjelang kematian Ya ‘qub ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu: Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.”
Namun tahukah kita? level tertinggi peran seorang ayah adalah sebagai gerbang surga bagi anaknya di akhirat kelak. “Orang tua (Ayah) adalah bagian tengah dari gerbang/ pintu surga. Jadi, tetaplah di gerbang itu atau lepaskan” (H.R Tirmidzi). Menurut al-Qadhi gerbang/ pintu yang paling tengah adalah yang terbaik dan paling tinggi, dengan kata lain sosok ayah dan ibu adalah sarana terbaik yang bisa mengantarkan anak ke surga.
Telaah Singkat Sejarah Rasulullah Sebagai Solusi Isu Fatherless
Sebagai agama yang universal, Islam selalu menawarkan solusi terbaik bagi setiap problem di setiap sudut lini kehidupan manusia. Solusi konkrit dari isu fatherless ini sebenarnya cukup mudah, kita hanya perlu kembali menilik sejarah Rasulullah saat beliau kecil. Terlahir tanpa sosok ayah tak menjadikan beliau kehilangan “peran” dari ayah. Mengapa bisa demikian? tidakkah kita mendapati fakta bahwa setidaknya ada 6 orang yang mengasuh beliau saat kecil, menggantikan peran dari sosok ayah yang telah tiada. Sang ibunda Aminah, Ibu susuan beliau Tsuwaibah juga Halimah as-Sa’diyyah, Ummu Aiman, sang kakek Abdul Mutholib dan paman beliau Abu Thalib. Pengasuhan terhadap Nabi Muhammad berlangsung sejak beliau dilahirkan sampai beliau menikah pada usia 25 tahun. Begitulah seharusnya perhatian dicurahkan pada sang buah hati, meskipun sosok ayahnya telah tiada, namun tak ada kompromi bagi “peran” ayah, harus ada yang benar-benar menjadi sosok caretaker bagi tumbuh kembang sang anak.